Siapa Beriman Menjadi Kafir

Dion S. Soegijoko

(ICRP) Sesat, menyimpang, menyeleweng, dan kafir selalu menjadi kata sakti yang ampuh dan mengerikan. Membawa dampak bencana besar bagi yang mendapat label kata-kata itu. Ia seperti badai tsunami yang akan meluluhlantahkan semuanya. Tanpa mengenal ampun.
Pengrusakan terhadap kantor, masjid, dan perumahan orang-orang Ahmadiyah di berbagai tempat adalah contohnya. “Penangkapan” Lia Eden dan pengikutnya menjadi contoh lain. Dipenjaranya Yusman Roy, yang “mempopulerkan” salat dua bahasa, juga masuk hitungan. Dan masih banyak deretan panjang korban-korban tusnami kata-kata sakti itu.
Sesat, menyimpang, menyeleweng, dan kafir merupakan kata-kata dari si aku yang menganggap dirinya benar, lurus, dan berada di jalan Tuhan. Ketika aku benar, aku lurus, aku berada di jalan Tuhan, maka orang lain yang berbeda akan disebut, dia sesat, dia menyeleweng, dan dia telah menyimpang dari titah Tuhan.
Sesat, menyimpang, menyeleweng, dan kafir lahir dari si aku yang merasa kemapanannya terancam. Seperti sebuah dinasti yang diusik oleh pemberontak. Ketentramannya terganggu. Ia marah dan murka seolah raja yang dengan sabdanya memerintahkan para panglima turun tangan. “Hancurkan dan luluhlantahkan mereka yang memberontak,” gembornya emosi.
Sesat, menyimpang, menyeleweng, dan kafir selalu diarahkan kepada mereka yang berbeda. Mereka yang mengambil jalan lain. Mereka yang berpendapat berlawanan. Mereka yang keluar barisan dari si aku yang mengaku lurus, benar, dan berada di jalan Tuhan.
Padahal, yang namanya berbeda, jalan lain, dan keluar barisan sudah menjadi kenyataan yang selalu ada. Sekuntum mawar di taman saja terdiri dari berbagai jenis, harimau di hutan pun demikian. Ada macan tutul, macan putih, cetah, dan seterusnya.
Masing-masing punya ciri khas, memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Dan di antara mereka tidak saling menghabisi. Macan tutul tak pernah membentuk pasukan untuk menyerang macan putih, juga sebaliknya. Mungkin mereka sadar bahwa perbedaan sudah menjadi kehendak-Nya.
Si aku yang mengaku lurus dan benar tidak sadar bahwa dalam keberimanan menyimpan ketakberimanan. Keberimanan membawa kekafiran. Ketika seseorang beriman dan menjadi muslim, maka ia kafir bagi orang Kristiani. Demikian pula tatkala seseorang beriman dan menjadi seorang Kristiani, otomatis ia kafir jika dipandang dari mata seorang Budha atau seorang Hindu, dan sebaliknya. Si aku yang mengaku lurus dan benar itu tak mengetahui kalau di mata yang lain ia juga seorang kafir. Si aku itu tak merasa bahwa ia juga pantas diluluhlantahkan karena kekafirannya itu.
Tapi apakah solusi bagi yang kafir, menyeleweng dan menyimpang harus dengan diluluhlantahkan dan dihilangkan? Kalau logika ini yang digunakan maka selamanya tak ada kedamaian.