Rumah Ibadah dan SKB Dua Mentri

Oleh Martin L. Peranginangin

Indonesia satu negara yang tidak sekedar mengakui keberadaan agama tetapi juga mengurusinya. Hal itu menjadi penting karena tercantum dalam pasal-pasal undang-undang Dasar yang tentunya mengikat seluruh warganya, baik Islam, Kristen (Katholik), Hindu dan Buddha. Sebenarnya, Islam dan Kristen merupakan saudara sepupu yang memiliki historis yang sama sebagai monotheisme, juga agama Jahudi yang berakar dari silsilah Nabi Abraham (Ibrahim: Islam). Dia adalah salah satu tokoh sentral baik dalam Al-quran dan Bible, yang takut akan Tuhan dan oleh karena mata imannya ia rela menyembahkan anak satu-satunya sebagai korban persembahan. Abraham dalam konteks iman Kristen diakui sebagai ‘Bapa bagi orang percaya’. Dalam riwayatnya, ketika ia dipanggil Tuhan keluar dari negrinya menuju tanah perjanjian, setiap kali tiba di suatu tempat dalam perjalanannya hal yang pertama sekali yang ia lakukan adalah membangun mezbah ataupun rumah ibadah (Kej. 12 : 1-9). Begitu pentingnya rumah ibadah bagi Nabi Abraham untuk memelihara relasinya dengan Tuhan.

Namun, di Indonesia saat ini sepertinya tidak henti-hentinya terjadi persoalan mengenai pembangunan tempat ibadah. Beberapa aliran dituduh sesat malah dipaksa bubar dengan cara kekerasan. Belakangan beberapa tempat ibadah ditutup paksa di Jawa Barat karena alasan tidak ada izin. Bila tidak ada izin mengapa tidak diberikan saja izin? Bukankah tempat ibadah itu mendorong orang menjadi hidup lebih baik, lebih bermoral, lebih berakhlak, lebih ber-Tuhan? Nah, disinilah permasalahannya, pikiran jemaat sudah banyak terkontaminasi sehingga sering menaruh curiga terhadap suatu agama yang berbeda dengan yang dianutnya. Apakah itu dilatari oleh kepentingan politik atau pemahaman agama yang sempit memang masih perlu diteliti sehingga sikap jemaat tidak skeptis. Namun apapun alasannya, jangan sampai terjadi seperti yang dikatakan Ruyandi Hutasoit, membangun rumah ibadah lebih sulit daripada membangun rumah bordil. Bila tempat mendidik moral masyarakat sulit dibangun, bagaimana kelak akhlak jemaat yang ‘mengambang’ itu? Kalau mereka menjadi kriminal atau penjahat kelas kakap tentu akan lebih merepotkan kita. Yang pasti ada kebutuhan untuk beribadah, maka janganlah soal izin menjadi dalil membuat mereka tidak beribadah. “Ingin jadi orang baik koq repot?”

Saya sependapat dengan apa yang diutarakan oleh Gus Dur, bahwa Tuhan tidak perlu dibela! Karena alasan membela agama justru sering terjadi kontardiksi sebab berlawanan dengan ajaran agama itu sendiri, apalagi bila sampai jatuh korban. Perlu adanya perubahan paradigma. Bahwa tokoh sentral yang perlu dibela itu bukan Tuhan tetapi manusia itu sendiri. Oleh karena itu justru keberadaan manusia itu yang perlu dibela dan ditolong yang penuh dengan gelimang dosa dan kemiskinan. Sementara, Tuhan adalah sebagai sumber inspirasi pembelaan itu. Tetapi dalam hubungan vertikal manusia harus menyembah Tuhan sebagai ciptaan dan pencipta. Memang kita ini siapa, sampai-sampai kita merasa layak membela Tuhan?

Sementara itu pemerintah sebagai pemegang otoritas keamanan negara harus jujur dan adil dalam beritindak. Pemerintah juga harus tetap teguh memandang sama setiap warganya tanpa perbedaan latar-belakang apapun. Apalagi mengenai agama adalah hak dasar setiap insan, merupakan hak azasi setiap manusia. Jadi seseorang tidak perlu mendapat restu terlebih dahulu untuk percaya akan sesuatu agama. Dalam hal ini tidak diperlukan rekomendasi dari mayoritas kepada minoritas, sebab itu adalah hak dasar seseorang untuk memilih dan memiliki keyakin.

Surat Keputusan Bersama (SKB) dua mentri (mentri agama dan menteri dalam negeri) yang mengatur tata cara pendirian rumah ibadah memang bertujuan baik, guna terjadi suatu keteraturan. Namun dalam perkembangan di tengah masyarakat saat ini bahwa aturan tersebut dirasa tidak lagi akomodatif terutama agama diluar Islam, karena mengharuskan izin dari lingkungan setempat. SKB sering menjadi landasan kurang adil bagi sementara pihak. Karena alasan dua atau tiga orang yang keberatan dalam suatu lingkungan maka tempat ibadah tidak bisa didirikan. Karena sulit mendapatkan ijin banyak orang akhirnya beribadah di rumah-rumah, ruko-ruko, bioskop hingga hotel dan tentu tanpa izin. Karena bagaimanapun tempat beribadah jauh lebih penting ketimbang aturan yang mengaturnya. Beberapa waktu lalu, ada isu SMS ke SBY soal pencabutan SKB, seorang kolega mengomentari, “Apakah mungkin SMSs dapat mencabut SKB? Gus Dur dan Mega yang dipandang sebagai presiden yang paling demokratis saja tidak mencabutnya. Jangan-jangan ada motif ekonomi dibalik itu.” Benar juga, bila Rp 350/sms maka dalam sejuta sms berantai maka perusahaan jasa telekomunikasi telah meraup 350 juta dari sebuah isu.

Dalam konteks kekinian pendirian rumah ibadah tentu memerlukan pengaturan mengingat kompleksitas kehidaupan warga. Apalagi sering terjadi konflik dari beragam latar-belakang permasalahan. Namun, sejatinya pengaturan itu, bukan justru menjadi sumber konflik, karena dipandang menjadi barrier bagi sementara pihak walaupun bagi yang lain sudah kondusif. Saya kira justru kita perlu lebih banyak membangun tempat beribadah, sehingga bangsa kita lebih beradab dan bisa keluar dari krisis yang berkepanjangan. Pemerintah harusnya memandang tempat ibadah itu layaknya Nabi Abraham. Penting sekali guna membangun relasi dengan Tuhan dan memperbaiki akhlak setiap warga negara.

Terakhir saya mengutip sebuah ilustrasi yang disampaikan oleh seorang rohaniawan. Dalam sebuah perjalanan menuju sautu tempat di padang gurun, maka masing-masing ada membawa besi baja untuk tempat persediaan air di jalan. Yang lain ada yang memakai aluminium dan plastik sebagai wadahnya. Si plastik memprovokasi bahwa yang lain itu tidak benar, sebab di perjalanan panjang di gurun pasir membawa air dalam besi atau tempat lainnya adalah pekerjaan sia-sia karena membebani perjalanan. Ia pun menyimpulkan bahwa ia yang paling benar. Demikian pula yang lain saling menunjukkan kelebihannya masing-masing. Si Besi juga berargumentasi dengan memakai besi baja maka tidak mudah bocor, karena kalau kehilangan air di sepanjang perjalanan adalah tindakan bunuh diri. Akhirnya, mereka saling bertengkar di jalan dan akibatnya tidak ada yang sampai di tujuan.

Demikian juga kiranya kita dalam menghayati keimanan dalam beragama, bahwa dialog perlu lebih dikedepankan dalam menghadapi suatu permasalahan. Tindakan kekerasan dan main hakim sendiri justru sudah melenceng dari kaidah moral agama. Bila perlu, tindak kekerasan dan main hakim sendiri di­-fatwa haram hukumnya.

Indonesia Tanah Air Siapa?



Oleh Martin L. Peranginangin

Suatu ketika di bis kota menuju Blok M, saya digugah dengan sebuah lirik lagu para pengamen. Lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marjuki yang indah itu, mereka ‘amandemen’ syairnya menjadi seperti ini: Indonesia tanah air siapa? / air beli tanah pun nyewa. Sebuah tembang realisme bernada lirih ungkapan kaum papa. Saya coba merenung sejenak tentang potongan syair itu sekali lagi. Ada sedikit roh halus merasuk rasa nasionalisme dalam diri saya sebagai orang Indonesia.

Sudah lajim pengamen jalanan dipandang sebagai orang kelas recehan, sehingga kreativitas mereka minim penghargaan. Padahal ada banyak dari mereka yang cukup cerdas. Ada mahasiswa yang terpaksa ngamen sambil kuliah bahkan ada yang sudah berpredikat sarjana. Lalu, kembali ke syair lagu tadi, gubahan para seniman jalanan sering kali merupakan ungkapan dari realitas kehidupan. Itu merupakan rintihan dari orang-orang yang terpinggirkan oleh deru globalisasi berkiblat kapitalisme. Mereka ibarat mobil tua yang terengah-engah di tepi jalan diselimuti debu di antara kendaraan modern yang melaju dengan lincah.

Sejatinya, ketika bangsa Indonesia diproklamasikan oleh pendiri bangsa, rakyat Indonesia merupakan subjek yang hendak dibangun. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya! “, begitu lirik lagu kebangsaan kita. Bahwa pembangunan itu bukan saja terletak pada pisiknya atau bangunannya, namun juga jiwa dan mentalnya bangsa Indonesia itu juga. Supaya kita memiliki perasaan bangga, semangat tinggi dan cinta yang mendalam kepada negeri ini. Mohammad Hatta, wakil presiden pertama kita, dalam menyusun pasal-pasal tentang ekonomi dalam UUD sudah sangat jelas bahwa seluruh kekayaan negara diperuntukkan guna kemakmuran seluruh rakyat, yang dalam bahasa sekarang sering disebut kepentingan publik. Pasal (33) UUD :‘Bumi, air, beserta segala isinya dimanfaatkan oleh negara untuk kepentingan rakyat’. Pasal yang lain menyebutkan bahwa ‘anak telantar dipelihara oleh negara’. Begitu juga pasal-pasal lainnya yang senantiasa merujuk kepada kepentingan rakyat. Itu menandakan bahwa rakyat Indonesia merupakan sasaran utama dari pembangunan itu. Tidak dibedakan berdasarkan latar-belakang ras, agama, golongan atau kelompok tertentu. Soekarno sendiri pernah mencanangkan sistem ekonomi berdikari (berdiri diatas kaki sendiri). Artinya rakyat Indonesia diajak untuk bisa mandiri secara ekonomi dan politis serta secara perlahan mengurangi ketergantungan terhadap bangsa lain.

Kini sudah 62 tahun bangsa kita bebas dari penjajahan, namun harapan para pendiri bangsa masih jauh dari kenyataan. Setidak-tidaknya hal ini tercermin oleh masih tingginya angka kemiskinan dan jauhnya jurang antara yang miskin dengan yang hidup berkelimpahan. Gedung-gedung yang tinggi terlihat kontras dengan rumah-rumah kumuh yang tinggal menunggu waktu digusur. Di berbagai daerah muncul kasus busung lapar dan gizi buruk. Dari berbagai media bertaburan berita tantang praktik persekongkolan yang memilukan, korupsi merajalela, peserta pilkada berseteru untuk mendapatkan kedudukan, kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah sering mengalami distorsi. Misalnya Perpres No. 36/2005 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Secara hukum pengaturan itu memang baik, akan tetapi realitas selalu berbicara lain. Bila peraturan tersebut berlaku bisa jadi akan memberi otoritas yang kuat bagi penguasa dalam mengalihkan tanah rakyat untukp fasilitas umum, dan kembali rakyat miskin berada pada posisi lemah. Masyarakat sering resah akibat kebijakan dari pejabat yang suka berbicara manis di depan ternyata pahit di belakang, terlebih-lebih bila penguasa dan pengusaha suka ‘berselingkuh’ dalam membuat kebijakan publik. Kepentingan publik menjadi abu-abu. Membangun mal-mal dan apartemen yang mewah memang kepentingan publik, tetapi kepentingan publik yang mana? Padahal konsumennya tidak jarang adalah warga asing, sementara di saat yang sama rakyat sendiri semakin banyak kesulitan tempat tinggal akibat penggusuran. Ini adalah ciri-ciri dari kapitalisme yang kian merasuki peradapan kita saat ini. Uang sepertinya tidak mengenal warga negara atau semangat nasionalisme. Uang adalah tuhan kedua, sepertinya menjadi pusat penyembahan manusia sekarang. “Hepeng do mangatur nagaraon”, kata orang Toba. Uang adalah pengaru, pengaruh adalah kekuasaan. Seolah-olah nilai mata uang menjadi ukuran dari semua keberhasilan. Target pertumbuhan selalu mengacu dengan angka nilai uang, namun efek sosial sering kali tidak dihitung. Bagaimana penderitaan orang-orang yang tergusur, penderitaan orang-orang terkena PHK dengan alasan perampingan atau efesiensi? Atau berbagai kebijakan yang menimbulkan social cost yang lainnya.

Kalau secara ekonomi, masyarakat kelas bawah sudah jelas tidak berdaya demikian halnya bila kita berbicara mengenai perspektif hukum. Maling ayam sering dihakimi secara massal baru kemudian diserahkan ke pihak berwajib. Tidak sampai disitu, dalam proses pemeriksaan pun biasa terjadi pula kekerasan. Ini merupakan konsekwensi menjadi rakyat kelas bawah di republik ini. Tetapi bila para pejabat disidangkan, malah terdakwa suka sakit-sakitan atau malah divonis bebas dari jeratan hukum. Padahal mereka tergolong maling kelas wahid. Uang selalu berbicara lebih kuat. Budaya suap selalu menjadi permainan yang menarik bagi setiap orang untuk terlibat didalamnya, karena itu merupakan jalan pintas untuk mendapatkan uang.

Di masa otonomi ini, yang menjadi hak istimewa dari rakyat adalah menentukan hak pilih secara bebas. Tapi lagi-lagi, di republik ini semua bisa dibeli. Suara rakyat bisa diganti dengan sebungkus nasi atau sebungkus rokok ditambah uang jalan. Soal kriteria calon peminpin sesuai dengan harapan mereka atau tidak itu menjadi tidak penting. Kaum miskin sudah masuk perangkap. Selembar uang go cap yang dalam ukuran wong cilik mungkin sudah lumayan dan kemudian menggadaikan haknya. Kemudian, ketika sang kandidat duduk di tahta kekuasaan, janji semasa kampanye hanya semacam tembang lama yang enak didengar sekali-sekali. Program kesejahteraan rakyat sekedar mantra dalam masa kampanye. Padahal tidak jarang para calon peminpin berteriak ibarat seorang juru selamat yang seolah-olah mampu mengatasi semua masalah.

Ketika kembali merenung, dari sisi apakah kaum papa bangga menjadi warga negara di republik ini? Secara ekonomi, hukum dan politik tidak lagi berpihak bagi rakyat kelas bawah. Padahal berdasarkan populasi jumlahnya jauh lebih besar dari kaum berada. Secara politis seharusnya meraka yang mayoritas menjadi acuan kepentingan politik. Setiap hari semakin banyak lahir kaum miskin. Petani yang tidak memiliki lahan, supir yang tidak memiliki kenderaan, dan satu lagi yang lebih memilukan, pekerja yang tidak lagi memiliki pekerjaan. Kerlap-kerlip lampu di kota kala malam tiba hanya elok dipandang mata. Gedung menjulang tinggi milik orang kaya, sementara orang tak punya hanya bisa memandang dengan mata. Perusaahan besar milik negara dijual untuk mereka yang berada, lalu sekarang apa yang kita punya?

Bisakah para kapitalis diharapkan membawa perbaikan nasib rakyat kecil terlebih bila berbagai sistem dan birokrasi di negara ini tidak dibenahi? Mereka yang pasti bukan panti asuhan yang mau mengayomi yang lemah, tapi cendrung memelihara yang kuat. Yang tidak kuat pasti tertinggal. Salah satu yang mungkin menjadi pertimbangan untuk tetap memelihara kaum marjinal adalah karena mereka diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi para industrialis. Karena itu, tugas ini diemban negara supaya selalu mempertimbangkan aspek sosial dari suatu kebijakan. Rakyat kecil juga adalah warga bangsa, mereka perlu diberdayakan supaya mereka sendiri tidak lupa bahwa mereka juga manusia. Terakhir, saya mengutip pesan Nelson Mandela, di konser Live 8 sebagai tandingan pertemuan negara-negara kelompok G-8 dulu, “Si kaya tidak akan bisa tidur nyenyak, selama yang miskin masih dibiarkan hidup”, katanya.

Siapa Beriman Menjadi Kafir

Dion S. Soegijoko

(ICRP) Sesat, menyimpang, menyeleweng, dan kafir selalu menjadi kata sakti yang ampuh dan mengerikan. Membawa dampak bencana besar bagi yang mendapat label kata-kata itu. Ia seperti badai tsunami yang akan meluluhlantahkan semuanya. Tanpa mengenal ampun.
Pengrusakan terhadap kantor, masjid, dan perumahan orang-orang Ahmadiyah di berbagai tempat adalah contohnya. “Penangkapan” Lia Eden dan pengikutnya menjadi contoh lain. Dipenjaranya Yusman Roy, yang “mempopulerkan” salat dua bahasa, juga masuk hitungan. Dan masih banyak deretan panjang korban-korban tusnami kata-kata sakti itu.
Sesat, menyimpang, menyeleweng, dan kafir merupakan kata-kata dari si aku yang menganggap dirinya benar, lurus, dan berada di jalan Tuhan. Ketika aku benar, aku lurus, aku berada di jalan Tuhan, maka orang lain yang berbeda akan disebut, dia sesat, dia menyeleweng, dan dia telah menyimpang dari titah Tuhan.
Sesat, menyimpang, menyeleweng, dan kafir lahir dari si aku yang merasa kemapanannya terancam. Seperti sebuah dinasti yang diusik oleh pemberontak. Ketentramannya terganggu. Ia marah dan murka seolah raja yang dengan sabdanya memerintahkan para panglima turun tangan. “Hancurkan dan luluhlantahkan mereka yang memberontak,” gembornya emosi.
Sesat, menyimpang, menyeleweng, dan kafir selalu diarahkan kepada mereka yang berbeda. Mereka yang mengambil jalan lain. Mereka yang berpendapat berlawanan. Mereka yang keluar barisan dari si aku yang mengaku lurus, benar, dan berada di jalan Tuhan.
Padahal, yang namanya berbeda, jalan lain, dan keluar barisan sudah menjadi kenyataan yang selalu ada. Sekuntum mawar di taman saja terdiri dari berbagai jenis, harimau di hutan pun demikian. Ada macan tutul, macan putih, cetah, dan seterusnya.
Masing-masing punya ciri khas, memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Dan di antara mereka tidak saling menghabisi. Macan tutul tak pernah membentuk pasukan untuk menyerang macan putih, juga sebaliknya. Mungkin mereka sadar bahwa perbedaan sudah menjadi kehendak-Nya.
Si aku yang mengaku lurus dan benar tidak sadar bahwa dalam keberimanan menyimpan ketakberimanan. Keberimanan membawa kekafiran. Ketika seseorang beriman dan menjadi muslim, maka ia kafir bagi orang Kristiani. Demikian pula tatkala seseorang beriman dan menjadi seorang Kristiani, otomatis ia kafir jika dipandang dari mata seorang Budha atau seorang Hindu, dan sebaliknya. Si aku yang mengaku lurus dan benar itu tak mengetahui kalau di mata yang lain ia juga seorang kafir. Si aku itu tak merasa bahwa ia juga pantas diluluhlantahkan karena kekafirannya itu.
Tapi apakah solusi bagi yang kafir, menyeleweng dan menyimpang harus dengan diluluhlantahkan dan dihilangkan? Kalau logika ini yang digunakan maka selamanya tak ada kedamaian.