Indonesia Tanah Air Siapa?



Oleh Martin L. Peranginangin

Suatu ketika di bis kota menuju Blok M, saya digugah dengan sebuah lirik lagu para pengamen. Lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marjuki yang indah itu, mereka ‘amandemen’ syairnya menjadi seperti ini: Indonesia tanah air siapa? / air beli tanah pun nyewa. Sebuah tembang realisme bernada lirih ungkapan kaum papa. Saya coba merenung sejenak tentang potongan syair itu sekali lagi. Ada sedikit roh halus merasuk rasa nasionalisme dalam diri saya sebagai orang Indonesia.

Sudah lajim pengamen jalanan dipandang sebagai orang kelas recehan, sehingga kreativitas mereka minim penghargaan. Padahal ada banyak dari mereka yang cukup cerdas. Ada mahasiswa yang terpaksa ngamen sambil kuliah bahkan ada yang sudah berpredikat sarjana. Lalu, kembali ke syair lagu tadi, gubahan para seniman jalanan sering kali merupakan ungkapan dari realitas kehidupan. Itu merupakan rintihan dari orang-orang yang terpinggirkan oleh deru globalisasi berkiblat kapitalisme. Mereka ibarat mobil tua yang terengah-engah di tepi jalan diselimuti debu di antara kendaraan modern yang melaju dengan lincah.

Sejatinya, ketika bangsa Indonesia diproklamasikan oleh pendiri bangsa, rakyat Indonesia merupakan subjek yang hendak dibangun. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya! “, begitu lirik lagu kebangsaan kita. Bahwa pembangunan itu bukan saja terletak pada pisiknya atau bangunannya, namun juga jiwa dan mentalnya bangsa Indonesia itu juga. Supaya kita memiliki perasaan bangga, semangat tinggi dan cinta yang mendalam kepada negeri ini. Mohammad Hatta, wakil presiden pertama kita, dalam menyusun pasal-pasal tentang ekonomi dalam UUD sudah sangat jelas bahwa seluruh kekayaan negara diperuntukkan guna kemakmuran seluruh rakyat, yang dalam bahasa sekarang sering disebut kepentingan publik. Pasal (33) UUD :‘Bumi, air, beserta segala isinya dimanfaatkan oleh negara untuk kepentingan rakyat’. Pasal yang lain menyebutkan bahwa ‘anak telantar dipelihara oleh negara’. Begitu juga pasal-pasal lainnya yang senantiasa merujuk kepada kepentingan rakyat. Itu menandakan bahwa rakyat Indonesia merupakan sasaran utama dari pembangunan itu. Tidak dibedakan berdasarkan latar-belakang ras, agama, golongan atau kelompok tertentu. Soekarno sendiri pernah mencanangkan sistem ekonomi berdikari (berdiri diatas kaki sendiri). Artinya rakyat Indonesia diajak untuk bisa mandiri secara ekonomi dan politis serta secara perlahan mengurangi ketergantungan terhadap bangsa lain.

Kini sudah 62 tahun bangsa kita bebas dari penjajahan, namun harapan para pendiri bangsa masih jauh dari kenyataan. Setidak-tidaknya hal ini tercermin oleh masih tingginya angka kemiskinan dan jauhnya jurang antara yang miskin dengan yang hidup berkelimpahan. Gedung-gedung yang tinggi terlihat kontras dengan rumah-rumah kumuh yang tinggal menunggu waktu digusur. Di berbagai daerah muncul kasus busung lapar dan gizi buruk. Dari berbagai media bertaburan berita tantang praktik persekongkolan yang memilukan, korupsi merajalela, peserta pilkada berseteru untuk mendapatkan kedudukan, kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah sering mengalami distorsi. Misalnya Perpres No. 36/2005 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Secara hukum pengaturan itu memang baik, akan tetapi realitas selalu berbicara lain. Bila peraturan tersebut berlaku bisa jadi akan memberi otoritas yang kuat bagi penguasa dalam mengalihkan tanah rakyat untukp fasilitas umum, dan kembali rakyat miskin berada pada posisi lemah. Masyarakat sering resah akibat kebijakan dari pejabat yang suka berbicara manis di depan ternyata pahit di belakang, terlebih-lebih bila penguasa dan pengusaha suka ‘berselingkuh’ dalam membuat kebijakan publik. Kepentingan publik menjadi abu-abu. Membangun mal-mal dan apartemen yang mewah memang kepentingan publik, tetapi kepentingan publik yang mana? Padahal konsumennya tidak jarang adalah warga asing, sementara di saat yang sama rakyat sendiri semakin banyak kesulitan tempat tinggal akibat penggusuran. Ini adalah ciri-ciri dari kapitalisme yang kian merasuki peradapan kita saat ini. Uang sepertinya tidak mengenal warga negara atau semangat nasionalisme. Uang adalah tuhan kedua, sepertinya menjadi pusat penyembahan manusia sekarang. “Hepeng do mangatur nagaraon”, kata orang Toba. Uang adalah pengaru, pengaruh adalah kekuasaan. Seolah-olah nilai mata uang menjadi ukuran dari semua keberhasilan. Target pertumbuhan selalu mengacu dengan angka nilai uang, namun efek sosial sering kali tidak dihitung. Bagaimana penderitaan orang-orang yang tergusur, penderitaan orang-orang terkena PHK dengan alasan perampingan atau efesiensi? Atau berbagai kebijakan yang menimbulkan social cost yang lainnya.

Kalau secara ekonomi, masyarakat kelas bawah sudah jelas tidak berdaya demikian halnya bila kita berbicara mengenai perspektif hukum. Maling ayam sering dihakimi secara massal baru kemudian diserahkan ke pihak berwajib. Tidak sampai disitu, dalam proses pemeriksaan pun biasa terjadi pula kekerasan. Ini merupakan konsekwensi menjadi rakyat kelas bawah di republik ini. Tetapi bila para pejabat disidangkan, malah terdakwa suka sakit-sakitan atau malah divonis bebas dari jeratan hukum. Padahal mereka tergolong maling kelas wahid. Uang selalu berbicara lebih kuat. Budaya suap selalu menjadi permainan yang menarik bagi setiap orang untuk terlibat didalamnya, karena itu merupakan jalan pintas untuk mendapatkan uang.

Di masa otonomi ini, yang menjadi hak istimewa dari rakyat adalah menentukan hak pilih secara bebas. Tapi lagi-lagi, di republik ini semua bisa dibeli. Suara rakyat bisa diganti dengan sebungkus nasi atau sebungkus rokok ditambah uang jalan. Soal kriteria calon peminpin sesuai dengan harapan mereka atau tidak itu menjadi tidak penting. Kaum miskin sudah masuk perangkap. Selembar uang go cap yang dalam ukuran wong cilik mungkin sudah lumayan dan kemudian menggadaikan haknya. Kemudian, ketika sang kandidat duduk di tahta kekuasaan, janji semasa kampanye hanya semacam tembang lama yang enak didengar sekali-sekali. Program kesejahteraan rakyat sekedar mantra dalam masa kampanye. Padahal tidak jarang para calon peminpin berteriak ibarat seorang juru selamat yang seolah-olah mampu mengatasi semua masalah.

Ketika kembali merenung, dari sisi apakah kaum papa bangga menjadi warga negara di republik ini? Secara ekonomi, hukum dan politik tidak lagi berpihak bagi rakyat kelas bawah. Padahal berdasarkan populasi jumlahnya jauh lebih besar dari kaum berada. Secara politis seharusnya meraka yang mayoritas menjadi acuan kepentingan politik. Setiap hari semakin banyak lahir kaum miskin. Petani yang tidak memiliki lahan, supir yang tidak memiliki kenderaan, dan satu lagi yang lebih memilukan, pekerja yang tidak lagi memiliki pekerjaan. Kerlap-kerlip lampu di kota kala malam tiba hanya elok dipandang mata. Gedung menjulang tinggi milik orang kaya, sementara orang tak punya hanya bisa memandang dengan mata. Perusaahan besar milik negara dijual untuk mereka yang berada, lalu sekarang apa yang kita punya?

Bisakah para kapitalis diharapkan membawa perbaikan nasib rakyat kecil terlebih bila berbagai sistem dan birokrasi di negara ini tidak dibenahi? Mereka yang pasti bukan panti asuhan yang mau mengayomi yang lemah, tapi cendrung memelihara yang kuat. Yang tidak kuat pasti tertinggal. Salah satu yang mungkin menjadi pertimbangan untuk tetap memelihara kaum marjinal adalah karena mereka diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi para industrialis. Karena itu, tugas ini diemban negara supaya selalu mempertimbangkan aspek sosial dari suatu kebijakan. Rakyat kecil juga adalah warga bangsa, mereka perlu diberdayakan supaya mereka sendiri tidak lupa bahwa mereka juga manusia. Terakhir, saya mengutip pesan Nelson Mandela, di konser Live 8 sebagai tandingan pertemuan negara-negara kelompok G-8 dulu, “Si kaya tidak akan bisa tidur nyenyak, selama yang miskin masih dibiarkan hidup”, katanya.

Tidak ada komentar: